Laman

Senin, 16 Januari 2012

PENDEKATAN-PENDEKATAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Salah satu tujuan penyelenggaraan pendidikan ialah untuk membentuk sikap moral dan watak murid yang berbudi luhur. Dahulu para murid diberikan pelajaran Budi Pekerti untuk mencapai tujuan tersebut. Namun sekarang pelajaran itu telah ditiadakan karena pelajaran tersebut mungkin tidak banyak merubah kepribadian murid menjadi kepribadian yang lebih baik dan bermoral. Indonesia memiliki Pancasila dan nilai-nilai budaya yang luhur dan menjunjung tinggi kerukunan dan tenggang rasa. Akan tetapi, di pihak lain Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia, dan tingkat kerusuhan yang juga tinggi. Bangsa lain memandang Indonesia menjadi negara yang tidak lagi aman untuk dikunjungi sehingga Indonesia pernah menjadi negara yang dilarang untuk dikunjungi oleh salah satu negara besar di dunia. Negara tersebut mengeluarkan travel warning bagi warga negaranya yang akan berkunjung ke Indonesia. Salah satu cara membentuk watak dan pribadi bangsa ialah dengan melalui pendidikan. Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan pendidikan Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis dan korup.
Oleh karena itu, seyogyanya pendidikan Budi Pekerti kembali digalakkan. Namun, agar tujuan dan maksud pendidikan Budi Pekerti itu bisa terwujud sesuai harapan, maka sangat diperlukan suatu pendekatan ataupun strategi dalam melaksanakan pendidikan Budi Pekerti. Secara substansial, pendidikan budi pekerti berorientasi pada pentingnya siswa memiliki sikap dan perilaku positif terhadap diri dan orang lain. Jadi, pendekatan yang dipilih seyogyanya merupakan pendekatan dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi siswa sehingga dimungkinkan guru dapat menerapkan pendekatan secara kolaboratif. Penerapan pendidikan Budi Pekerti perlu dilakukan secara holistik dan didesain dalam proses pembelajaran yang menyenangkan.
Jadi, seorang calon pendidik harus memahami benar cara melaksanakan pendidikan Budi Pekerti sehingga sesuai dengan uraian di atas. Dengan begitu, harapan, maksud dan tujuan dari pendidikan Budi Pekerti tersebut bisa tercapai.

1.2    Rumusan Masalah
1.    Apa saja pendekatan dalam pendidikan  Budi Pekerti?
2.    Apa saja strategi dasar pendidikan Budi Pekerti dalam hubungannya dengan pendekatan dalam pendidikan Budi Pekerti?

1.3       Tujuan
1.    Untuk mengetahui apa saja pendekatan dalam pendidikan Budi Pekerti.
2.    Untuk mengetahui strategi yang berhubungan dengan pendekatan pendidikan Budi Pekerti.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti
Penerapan pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan sekolah saat ini menggunakan dua pendekatan utama.
1)    Penyisipan (plug-in)
2)    Perbaikan (improvement) dengan cara mengoptimalkan isi, proses, dan pengelolaan pendidikan saat ini guna mencapai tujuan pendidikan nasional.
Menurut draf kurikulum berbasis kompetensi (KBK) mata pelajaran Budi Pekerti untuk SD, SMP, dan SMA (Puskur, 2001:7-8), dalam rangka meningkatkan keberhasilan peserta didik untuk membentuk mental, moral, spiritual, personal dan sosial, maka penerapan pendidikan budi pekerti dapat digunakan berbagai pendekatan dengan memilih pendekatan yang terbaik (efektif) dan saling mengaitkannya satu sama lain agar menimbulkan hasil yang optimal (sinergis).
Pendekatan yang dimaksud antara lain:
a.    Pendekatan penanaman nilai (Iculcation Approach)
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif (pemberian ajaran secara mendalam tanpa kritik mengenai suatu paham atau doktrin tertentu dengan melihat suatu kebenaran dari arah tertentu saja), tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang.
Pada dasarnya, pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri. Cara yang digunakan antara lain keteladanan, penguatan, simulasi, dan bermain peran.
b.    Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development Approach)
Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989). Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al.1976; Banks, 1985). Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut.
(1)    Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
(2)    Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
(3)    Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka. Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal.
Jadi, pada dasarnya, pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral. Cara yang dapat digunakan dalam penerapan budi pekerti dengan pendekatan ini antara lain melakukan diskusi kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual maupun yang abstrak.
c.    Pendekatan Analisis Nilai (Value Analysis Approach)
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu dan dapat menghubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri.
Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan. Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989), sebagai berikut.
a.    Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait yang artinya mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait,
b.    Mengumpulkan fakta yang berhubungan yang artinya mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan,
c.    Menguji kebenaran fakta yang berkaitan yang artinya mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan,
d.    Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan yang artinya mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan,
e.    Merumuskan keputusan moral sementara yang artinya mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara,
f.    Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan yang artinya mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.
Cara yang dapat digunakan antara lain diskusi terarah yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis terhadap kasus, debat, dan penelitian.
d.    Pendekatan Klarifikasi Nilai (Value Clarification Approach)
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.
Jadi bisa kita simpulkan bahwa pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Selain itu, bertujuan membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka sendiri. Cara yang digunakan antara lain bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktivitas yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi kelompok.
e.    Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial. Tujuan pendekatan ini adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai, dan mengembangkan kemampuan dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial. Cara yang digunakan selain cara-cara pendekatan analisis dan klarifikasi nilai, adalah metode proyek/kegiatan di sekolah, hubungan antar pribadi, praktik hidup bermasyarakat dan berorganisasi. (http://re-searchengines.com/0807trimo.html).

2.2    Strategi Dasar Pendidikan Budi Pekerti dalam Hubungannya dengan Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti
        Agar pendekatan yang digunakan dalam pendidikan Budi Pekerti mampu mewujudkan tujuan dari pendidikan Budi Pekerti itu sendiri, maka perlu ditekankan strategi yang akan digunakan sebagai acuan.
        Sesuai dengan visi pendidikan budi pekerti, pelaksanaan pendidikan budi pekerti yang selama ini banyak dimaknai secara tradisional dan lokal telah direkonseptualisasi dan direposisi menjadi “pendidikan budi pekerti” yang diyakini akan memberi kontribusi yang bermakna dalam upaya pembentukan “Manusia Seutuhnya”.
        Pola pikir akademis dan pedagogis tersebut, diyakini sangatlah tepat karena memang secara substantif dan praksis budi pekerti tidak bisa dilepaskan dari tujuan, instrumentasi, dan praksis kurikuler dan pedagogis mata pelajaran keagamaan, sosial, dan humaniora. Semua mata pelajaran tersebut secara esensial mengandung pengembangan kognisi, afeksi, dan keterampilan sosial yang diyakini sangat potensial dalam mengembangkan individu.
        Atas dasar pertimbangan hal-hal di atas, maka dalam penyelenggaraan pendidikan budi pekerti ditetapkan strategi dasar sebagai berikut.
1)    Pendidikan budi pekerti sebagai substansi dan praksis pendidikan di lingkungan persekolahan, terintegrasi dalam sejumlah mata pelajaran yang relevan dan iklim sosial budaya sekolah.
2)    Pengorganisasian pendidikan budi pekerti dalam kurikulum dunia persekolahan dapat dilakukan melalui beberapa alternatif, antara lain:
a)    Mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai dengan sekolah menengah atas (SMA) pendidikan budi pekerti diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang relevan; atau
b)    Di TK diintegrasikan ke dalam bidang yang relevan, di SD diintegrasikan ke dalam pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, serta pendidikan bahasa Indonesia/daerah.
c)    Di SMP dan SMA diintegrasikan ke dalam pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, pendidikan IPS serta pendidikan bahasa Indonesia/daerah, dan mata pelajaran yang relevan.
3)    Keterlibatan seluruh komponen penyelenggaraan pendidikan, khususnya guru, kepala sekolah, administrator pendidikan, pengembang kurikulum, penulis buku teks dan lembaga pendidikan tenaga keguruan sesuai dengan kedudukan, peran, dan tanggung jawabnya.
Secara kurikuler dan pedagogis nilai-nilai esensial dan operasional budi pekerti yang menjadi isi pendidikan budi pekerti, selanjutnya dikembangkan dan diterapkan secara adaptif dalam pengembangan perangkat pembelajaran dan perwujudan praktis pendidikan budi pekerti. Dengan demikian, pengembangan butir-butir nilai budi pekerti luhur oleh dan dalam masing-masing mata pelajaran yang relevan tidak terjadi over lapping atau timpang tindih tidak perlu dan potensial menimbulkan kebosanan dikalangan peserta didik dan guru.
Wahana dalam konteks ini dimaknai sebagai isi dan proses mata pelajaran yang relevan, yang dirancang untuk mengintegrasikan pendidikan budi pekerti. Sebagai contoh antar lain ahlak dalam pendidikan agama; demokrasi dan HAM dalam PPKn. Pemilihan mata pelajaran pendidikan agama dan PPKn sebagai wahana untuk pendidikan budi pekerti, dinilai sangat tepat karena secara konstitusional negara Indonesia merupakan sila-sila Pancasila sebagai pondasi dan sekaligus muara dari keseluruhan upaya pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Secara instrumental kurikuler, karena pendidikan budi pekerti termasuk kedalam pendidikan nilai, maka berlaku paradigma pedagogis bahwa nilai tidak semata mata diajarkan atau ditangkap sendiri, tetapi lebih jauh dari itu nilai dipelajari dan diamati. Oleh karena itu, pendekatan pendidikannya harus berubah dari pendekatan didaktis (didassien/didasei = saya mengajar) menjadi pendekatan belajar, yang lebih menekankan kedudukan dan peran peserta didik sebagai subjek ajar dan bukan sebaliknya sebagai objek ajar.

BAB III
PENUTUP


Simpulan
1.    Penerapan pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan persekolahan saat ini menggunakan dua pendekatan utama, yaitu
-    Penyisipan (plug-in)
-    Perbaikan (improvement) dengan cara mengoptimalkan isi, proses, dan pengelolaan pendidikan saat ini guna mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendekatan yang dimaksud antara lain:
a.    Pendekatan penanaman nilai (Iculcation Approach)
b.    Pendekatan Analisis Nilai (Value Analysis Approach)
c.    Pendekatan Klarifikasi Nilai (Value Clarification Approach)
d.    Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
2.    Agar pendekatan yang digunakan dalam pendidikan Budi Pekerti mampu mewujudkan tujuan dari pendidikan Budi Pekerti itu sendiri, maka perlu ditekankan strategi yang akan digunakan sebagai acuan. Dalam penyelenggaraan pendidikan budi pekerti ditetapkan strategi dasar sebagai berikut.
1.    Pendidikan budi pekerti sebagai substansi dan praksis pendidikan di lingkungan persekolahan, terintegrasi dalam sejumlah mata pelajaran yang relevan dan iklim sosial budaya sekolah.
2.    Pengorganisasian pendidikan budi pekerti dalam kurikulum dunia persekolahan dapat dilakukan melalui beberapa alternatif,
3.    Keterlibatan seluruh komponen penyelenggaraan pendidikan, khususnya guru, kepala sekolah, administrator pendidikan, pengembang kurikulum, penulis buku teks dan lembaga pendidikan tenaga keguruan sesuai dengan kedudukan, peran, dan tanggung jawabnya.

1 komentar:

  1. Saya ingin bertanya tentang nila-nilai pendidikan budi pekerti & isi pendidikan budi pekerti, , ,

    BalasHapus