Pendekatan
Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Secara umum,
dikenal adanya dua pendekatan yang sering dilakukan dalam memberikan layanan
pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu pendekatan
kelompok/klasikal dan pendekatan individual.
Selain
pendekatan individu dan pendekatan kelompok, bagi anak berkebutuhan khusus ada pendekatan lain yang berorientasi ke
pencapaian hasil belajar anak, yaitu pendekatan
remidial dan pendekatan akseleratif.
Pendekatan remidial bertujuan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam
upaya mencapai kompetensi yang ditentukan dengan lebih menekankan pada hambatan
atau kekurangan yang ada pada anak berkebutuhan khusus. Pada pendekatan
akseleratif bertujuan untuk mendorong anak berkebutuhan khusus, utamanya anak
berbakat untuk lebih lanjut menguasai kompetensi yang ditetapkan berdasar
assesmen kemampuan anak. Pendekatan akseleratif
juga lebih bersifat individual.
1.
Anak Berkelainan Fisik
Secara umum anak-anak berkebutuhan
khusus yang mengalami kelainan fisik membutuhkan layanan pendidikan dengan
pendekatan dan strategi khusus, yang dapat dikemukakan sebagai berikut.
a.
Anak Tuna Netra
Strategi khusus dan isi layanan
pendidikan bagi anak tuna netra menurut Hardman (dalam Suparno, 2008), meliputi
3 hal, yaitu sebagai berikut.
1)
Mobility training
and daily living skill, yaitu latihan untuk berjalan
dan orientasi tempat dan ruang dengan berbagai sarana yang diperlukan serta
latihan keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan dengan pemahaman uang,
belanja, mencuci, memasak, kebersihan diri, dan membersihkan ruangan.
2)
Tradisional
curriculum content area, yaitu orientasi dan mobilitas,
keterampilan berbahasa termasuk ekspresinya dan keterampilan berhitung.
3)
Communication media, yaitu penguasaan braille dalam komunikasi.
Annastasia Widjajanti dan Imanuel
Hitipeuw (dalam Suparno, 2008) menyatakan bahwa layanan khusus bagi anak tuna netra
yaitu sebagai berikut.
1)
Penguasaan Braille, yaitu kemampuan untuk menulis dan membaca braille.
2)
Latihan orientasi dan mobilitas,
yaitu jalan dengan pendamping awas, latihan jalan mandiri, latihan jalan dengan
menggunakan alat bantu jalan (tongkat dan sign
guide).
3)
Penggunaan alat bantu dalam
pembelajaran berhitung dan matematika, meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian,
pembagian, dan beberapa konsep matematikan braille.
4)
Pembelajaran pendidikan jasmani
bagai anak tuna netra. Pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak tuna netra
menggunakan pendidikan jasmani adaktif.
5)
Pembelajaran IPA. Dalam
pembelajaran IPA sedapat mungkin menggunakan model yang dapat diamati dan
diraba oleh anak.
b.
Anak Tunarungu
Menurut Suparno (2008) ada beberapa cara dalam mengembangkan kemampuan
komunikasi anak tuna rungu, yaitu sebagai berikut.
1) Metode oral,
yaitu cara melatih anak tuna rungu dapat
berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar.
2) Membaca
ujaran, yaitu suatu kegiatan yang
mencakup pengamatan visual dari bentuk dan gerak bibir lawan bicara sewaktu
dalam proses bicara. Membaca ujaran mencakup pengertian atau pemberian makna
pada apa yang diucapkan lawan bicara dimana ekspresi muka dan pengetahuan bahasa
turut berperan.
3) Metode
manual, yaitu cara mengajar atau melatih
anak tuna rungu berkomunikasi dengan
isyarat atau ejaan jari. Bahasa manual atau bahasa isyarat mempunyai unsur
gesti atau gerakan tangan yang ditangkap melalui penglihatan atau suatu bahasa
yang menggunakan modalitas gesti-visual.
Bahasa isyarat mempunyai beberapa komponen, yaitu: (a) ungkapan
badaniah, (b) bahasa isyarat lokal, dan (c) bahasa
isyarat formal.
4) Ejaan jari.
Ejaan jari adalah penunjang bahasa isyarat dengan menggunakan ejaan jari. Ejaan
jari secara garis besar dapat dikelompokan dalam tiga jenis, yaitu: (1) ejaan jari
dengan satu tangan (one handed), (2) ejaan jari dengan kedua tangan (two handed), dan (3) ejaan jari campuran dengan menggunakan satu
tangan atau dua tangan.
5) Komunikasi
total cara berkomunikasi dengan menggunakan salah satu
modus atau semua cara komunikasi, yaitu
penggunaan sistem isyarat, ejaan jari, bicara, baca ujaran, amplifikasi, gesti,
pantomimik, menggambar dan menulis, serta
pemanfaatan sisa pendengaran sesuai kebutuhan dan kemampuan seseorang.
c.
Anak Tunadaksa
Menurut Frieda Mangunsong (dalam Suparno, 2008) layanan
pendidikan bagi anak tuna daksa perlu memperhatikan tiga hal, yaitu sebagai
berikut.
1)
Pendekatan Multidisipliner dalam
Program Rehabilitasi Anak Tunadaksa
Pendekatan
multidisipliner merupakan layanan pendidikan yang melibatkan berbagai ahli
terkait secara terpadu dalam rangka mengoptimalkan memampuan yang dimiliki oleh
anak. Beberapa ahli terkait memberikan layanan rehabilitasi adalah ahli medis
(dokter), dokter tulang, dokter syaraf, ahli pendidikan, psikolog, pekerja
sosial, konselor, ahli fisioterapi, okupasi, dan ahli pendidikan khusus.
2)
Program Pendidikan Sekolah
Program
pendidikan sekolah bagai mereka yang tidak mengalami kelainan mental relatif
sama dengan anak normal, hanya bina gerak masih terus dikembangkan melalui
fisioterapi dan terapi okupasi, utamanya untuk perbaikan motoriknya.
3)
Layanan Bimbingan dan Konseling
Layanan bimbingan dan konseling
diarahkan untuk mengembangkan self-respect
(menghargai diri sendiri).
2.
Anak Berkelainan Mental Emosional
Layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan mental-emosional meliputi anak tuna
grahita dan anak tuna laras.
a.
Anak Tuna Grahita
Pendekatan layanan pendidikan bagi
anak tuna grahita lebih diarahkan pada pendekatan individual dan pendekatan
remidiatif. Tujuan utama layanan pendidikan bagi anak tuna grahita adalah
penguasaan kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mengelola diri
sendiri. Layanan pendidikan khusus bagi anak tuna grahita meliputi latihan
senso-motorik, terapi bermain dan okupasi, serta latihan mengurus diri sendiri.
Perkembangan kemampuan anak berdasarkan tingkat kemampuan kognitifnya.
b.
Anak Tuna Laras
Pendekatan pendidikan bagi anak tuna
laras menggunakan pendekatan bimbingan, konseling, dan terapi. Pendekatan
terapi yang sering digunakan untuk layanan pendidikan anak tuna laras menurut
Hardman (dalam Suparno, 2008) yaitu: (1) Insight-oriented thterapies, (2) Play therapy, (3) Group
therapy, (4) Behavior therapy, (5) Marital and Family therapy, (6)
Drug therapy.
3.
Anak Berbakat dan Anak
Berkesulitan Belajar Spesifik
Pendekatan
layanan khusus bagi anak berbakat dan berkesulitan belajar spesifik lebih
bersifat pendekatan individual. Pendekatan individual ini lebih memperhatikan
potensi yang dimiliki oleh anak.
a. Anak
Berbakat
Layanan
pendidikan bagi anak berbakat di sekolah dasar dilakukan melalui dua tahap,
yaitu tahap penjaringan (sreening)
dan tahap seleksi (identifikasi). Dalam tahap penjaringan dilakukan oleh guru
dengan menganalisis hasil belajar anak dan menganalisis hasil observasi
komitmen anak akan tugas dan kreativitasnya. Setelah teridentifikasi bakat
anak, langkah selanjutnya adalah menentukan layanan pendidikan bagi mereka. Ada
berbagai macam layanan pendidikan bagai anak berbakat, yaitu: 1) layanan
akselerasi, yaitu layanan tambahan untuk mempercepat penguasaan kompetensi
dalam merealisasi bakat anak, 2) layanan kelas
khusus, yaitu anak yang berbakat unggul dikelompokkan dalam satu kelas dan
diberikan layanan tersendiri sesuai dengan bakat mereka, 3) layanan kelas unggulan, sama dengan layanan kelas khusus hanya
berbeda dalam model pengayaannya, dan 4)
layanan bimbingan sosial dan kepribadian.
b. Anak Berkesulitan Belajar Spesifik
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar spesifik
menurut Jerome Rosner (dalam Suparno, 2008) ada tiga macam, yaitu sebagai
berikut.
1) Layanan Remidiasi
Layanan
remidiasi terfokus pada upaya menyembuhkan, mengurangi, dan jika mungkin mengatasi kesulitan yang dialami anak.
2) Layanan Kompensasi
Layanan kompensasi diberikan dengan
cara menciptakan lingkungan belajar khusus di luar lingkungan belajar yang
normal, sehingga memungkinkan anak memperoleh kemajuan dalam pembentukan
perseptual dan bahasa.
3) Layanan Prevensi
Layanan prevensi adalah layanan yang diberikan sebelum
anak mengalami ketunacakapan belajar di sekolah. Layanan ini diawali dengan
melakukan identifikasi terhadap aspek-aspek yang dimungkinkan menimbulkan atau
menyebabkan ketunacakapan belajar.