Laman

Senin, 16 Januari 2012

PENDEKATAN-PENDEKATAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Salah satu tujuan penyelenggaraan pendidikan ialah untuk membentuk sikap moral dan watak murid yang berbudi luhur. Dahulu para murid diberikan pelajaran Budi Pekerti untuk mencapai tujuan tersebut. Namun sekarang pelajaran itu telah ditiadakan karena pelajaran tersebut mungkin tidak banyak merubah kepribadian murid menjadi kepribadian yang lebih baik dan bermoral. Indonesia memiliki Pancasila dan nilai-nilai budaya yang luhur dan menjunjung tinggi kerukunan dan tenggang rasa. Akan tetapi, di pihak lain Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia, dan tingkat kerusuhan yang juga tinggi. Bangsa lain memandang Indonesia menjadi negara yang tidak lagi aman untuk dikunjungi sehingga Indonesia pernah menjadi negara yang dilarang untuk dikunjungi oleh salah satu negara besar di dunia. Negara tersebut mengeluarkan travel warning bagi warga negaranya yang akan berkunjung ke Indonesia. Salah satu cara membentuk watak dan pribadi bangsa ialah dengan melalui pendidikan. Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan pendidikan Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis dan korup.
Oleh karena itu, seyogyanya pendidikan Budi Pekerti kembali digalakkan. Namun, agar tujuan dan maksud pendidikan Budi Pekerti itu bisa terwujud sesuai harapan, maka sangat diperlukan suatu pendekatan ataupun strategi dalam melaksanakan pendidikan Budi Pekerti. Secara substansial, pendidikan budi pekerti berorientasi pada pentingnya siswa memiliki sikap dan perilaku positif terhadap diri dan orang lain. Jadi, pendekatan yang dipilih seyogyanya merupakan pendekatan dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi siswa sehingga dimungkinkan guru dapat menerapkan pendekatan secara kolaboratif. Penerapan pendidikan Budi Pekerti perlu dilakukan secara holistik dan didesain dalam proses pembelajaran yang menyenangkan.
Jadi, seorang calon pendidik harus memahami benar cara melaksanakan pendidikan Budi Pekerti sehingga sesuai dengan uraian di atas. Dengan begitu, harapan, maksud dan tujuan dari pendidikan Budi Pekerti tersebut bisa tercapai.

1.2    Rumusan Masalah
1.    Apa saja pendekatan dalam pendidikan  Budi Pekerti?
2.    Apa saja strategi dasar pendidikan Budi Pekerti dalam hubungannya dengan pendekatan dalam pendidikan Budi Pekerti?

1.3       Tujuan
1.    Untuk mengetahui apa saja pendekatan dalam pendidikan Budi Pekerti.
2.    Untuk mengetahui strategi yang berhubungan dengan pendekatan pendidikan Budi Pekerti.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti
Penerapan pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan sekolah saat ini menggunakan dua pendekatan utama.
1)    Penyisipan (plug-in)
2)    Perbaikan (improvement) dengan cara mengoptimalkan isi, proses, dan pengelolaan pendidikan saat ini guna mencapai tujuan pendidikan nasional.
Menurut draf kurikulum berbasis kompetensi (KBK) mata pelajaran Budi Pekerti untuk SD, SMP, dan SMA (Puskur, 2001:7-8), dalam rangka meningkatkan keberhasilan peserta didik untuk membentuk mental, moral, spiritual, personal dan sosial, maka penerapan pendidikan budi pekerti dapat digunakan berbagai pendekatan dengan memilih pendekatan yang terbaik (efektif) dan saling mengaitkannya satu sama lain agar menimbulkan hasil yang optimal (sinergis).
Pendekatan yang dimaksud antara lain:
a.    Pendekatan penanaman nilai (Iculcation Approach)
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif (pemberian ajaran secara mendalam tanpa kritik mengenai suatu paham atau doktrin tertentu dengan melihat suatu kebenaran dari arah tertentu saja), tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang.
Pada dasarnya, pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri. Cara yang digunakan antara lain keteladanan, penguatan, simulasi, dan bermain peran.
b.    Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development Approach)
Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989). Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al.1976; Banks, 1985). Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut.
(1)    Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
(2)    Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
(3)    Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka. Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal.
Jadi, pada dasarnya, pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral. Cara yang dapat digunakan dalam penerapan budi pekerti dengan pendekatan ini antara lain melakukan diskusi kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual maupun yang abstrak.
c.    Pendekatan Analisis Nilai (Value Analysis Approach)
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu dan dapat menghubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri.
Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan. Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989), sebagai berikut.
a.    Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait yang artinya mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait,
b.    Mengumpulkan fakta yang berhubungan yang artinya mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan,
c.    Menguji kebenaran fakta yang berkaitan yang artinya mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan,
d.    Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan yang artinya mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan,
e.    Merumuskan keputusan moral sementara yang artinya mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara,
f.    Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan yang artinya mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.
Cara yang dapat digunakan antara lain diskusi terarah yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis terhadap kasus, debat, dan penelitian.
d.    Pendekatan Klarifikasi Nilai (Value Clarification Approach)
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.
Jadi bisa kita simpulkan bahwa pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Selain itu, bertujuan membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka sendiri. Cara yang digunakan antara lain bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktivitas yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi kelompok.
e.    Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial. Tujuan pendekatan ini adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai, dan mengembangkan kemampuan dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial. Cara yang digunakan selain cara-cara pendekatan analisis dan klarifikasi nilai, adalah metode proyek/kegiatan di sekolah, hubungan antar pribadi, praktik hidup bermasyarakat dan berorganisasi. (http://re-searchengines.com/0807trimo.html).

2.2    Strategi Dasar Pendidikan Budi Pekerti dalam Hubungannya dengan Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti
        Agar pendekatan yang digunakan dalam pendidikan Budi Pekerti mampu mewujudkan tujuan dari pendidikan Budi Pekerti itu sendiri, maka perlu ditekankan strategi yang akan digunakan sebagai acuan.
        Sesuai dengan visi pendidikan budi pekerti, pelaksanaan pendidikan budi pekerti yang selama ini banyak dimaknai secara tradisional dan lokal telah direkonseptualisasi dan direposisi menjadi “pendidikan budi pekerti” yang diyakini akan memberi kontribusi yang bermakna dalam upaya pembentukan “Manusia Seutuhnya”.
        Pola pikir akademis dan pedagogis tersebut, diyakini sangatlah tepat karena memang secara substantif dan praksis budi pekerti tidak bisa dilepaskan dari tujuan, instrumentasi, dan praksis kurikuler dan pedagogis mata pelajaran keagamaan, sosial, dan humaniora. Semua mata pelajaran tersebut secara esensial mengandung pengembangan kognisi, afeksi, dan keterampilan sosial yang diyakini sangat potensial dalam mengembangkan individu.
        Atas dasar pertimbangan hal-hal di atas, maka dalam penyelenggaraan pendidikan budi pekerti ditetapkan strategi dasar sebagai berikut.
1)    Pendidikan budi pekerti sebagai substansi dan praksis pendidikan di lingkungan persekolahan, terintegrasi dalam sejumlah mata pelajaran yang relevan dan iklim sosial budaya sekolah.
2)    Pengorganisasian pendidikan budi pekerti dalam kurikulum dunia persekolahan dapat dilakukan melalui beberapa alternatif, antara lain:
a)    Mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai dengan sekolah menengah atas (SMA) pendidikan budi pekerti diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang relevan; atau
b)    Di TK diintegrasikan ke dalam bidang yang relevan, di SD diintegrasikan ke dalam pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, serta pendidikan bahasa Indonesia/daerah.
c)    Di SMP dan SMA diintegrasikan ke dalam pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, pendidikan IPS serta pendidikan bahasa Indonesia/daerah, dan mata pelajaran yang relevan.
3)    Keterlibatan seluruh komponen penyelenggaraan pendidikan, khususnya guru, kepala sekolah, administrator pendidikan, pengembang kurikulum, penulis buku teks dan lembaga pendidikan tenaga keguruan sesuai dengan kedudukan, peran, dan tanggung jawabnya.
Secara kurikuler dan pedagogis nilai-nilai esensial dan operasional budi pekerti yang menjadi isi pendidikan budi pekerti, selanjutnya dikembangkan dan diterapkan secara adaptif dalam pengembangan perangkat pembelajaran dan perwujudan praktis pendidikan budi pekerti. Dengan demikian, pengembangan butir-butir nilai budi pekerti luhur oleh dan dalam masing-masing mata pelajaran yang relevan tidak terjadi over lapping atau timpang tindih tidak perlu dan potensial menimbulkan kebosanan dikalangan peserta didik dan guru.
Wahana dalam konteks ini dimaknai sebagai isi dan proses mata pelajaran yang relevan, yang dirancang untuk mengintegrasikan pendidikan budi pekerti. Sebagai contoh antar lain ahlak dalam pendidikan agama; demokrasi dan HAM dalam PPKn. Pemilihan mata pelajaran pendidikan agama dan PPKn sebagai wahana untuk pendidikan budi pekerti, dinilai sangat tepat karena secara konstitusional negara Indonesia merupakan sila-sila Pancasila sebagai pondasi dan sekaligus muara dari keseluruhan upaya pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Secara instrumental kurikuler, karena pendidikan budi pekerti termasuk kedalam pendidikan nilai, maka berlaku paradigma pedagogis bahwa nilai tidak semata mata diajarkan atau ditangkap sendiri, tetapi lebih jauh dari itu nilai dipelajari dan diamati. Oleh karena itu, pendekatan pendidikannya harus berubah dari pendekatan didaktis (didassien/didasei = saya mengajar) menjadi pendekatan belajar, yang lebih menekankan kedudukan dan peran peserta didik sebagai subjek ajar dan bukan sebaliknya sebagai objek ajar.

BAB III
PENUTUP


Simpulan
1.    Penerapan pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan persekolahan saat ini menggunakan dua pendekatan utama, yaitu
-    Penyisipan (plug-in)
-    Perbaikan (improvement) dengan cara mengoptimalkan isi, proses, dan pengelolaan pendidikan saat ini guna mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendekatan yang dimaksud antara lain:
a.    Pendekatan penanaman nilai (Iculcation Approach)
b.    Pendekatan Analisis Nilai (Value Analysis Approach)
c.    Pendekatan Klarifikasi Nilai (Value Clarification Approach)
d.    Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
2.    Agar pendekatan yang digunakan dalam pendidikan Budi Pekerti mampu mewujudkan tujuan dari pendidikan Budi Pekerti itu sendiri, maka perlu ditekankan strategi yang akan digunakan sebagai acuan. Dalam penyelenggaraan pendidikan budi pekerti ditetapkan strategi dasar sebagai berikut.
1.    Pendidikan budi pekerti sebagai substansi dan praksis pendidikan di lingkungan persekolahan, terintegrasi dalam sejumlah mata pelajaran yang relevan dan iklim sosial budaya sekolah.
2.    Pengorganisasian pendidikan budi pekerti dalam kurikulum dunia persekolahan dapat dilakukan melalui beberapa alternatif,
3.    Keterlibatan seluruh komponen penyelenggaraan pendidikan, khususnya guru, kepala sekolah, administrator pendidikan, pengembang kurikulum, penulis buku teks dan lembaga pendidikan tenaga keguruan sesuai dengan kedudukan, peran, dan tanggung jawabnya.

Selasa, 03 Januari 2012

Profesi Keguruan (Makalah)


BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Pendidikan Adela investasi Sumber Daya Manusia (SDM) jangka panjang. Oleh Sebab itu, tidak heran apabila suatu Negara menempatkan Pendidikan sebagai variable utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negaranya, termasuk di Negara Indonesia.
Guru sebagai profesi perlu diiringi dengan pemberlakuan aturan profesi keguruan, sehingga akan ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seseorang yang berprofesi guru, yaitu Indonesia memerlukan guru yang bukan hanya disebut guru, melainkan guru yang profesional terhadap profesinya sebagai guru. Aturan profesi keguruan berasal dari dua kata dasar profesi dan bidang spesifik guru/keguruan.
Dewasa ini pendidikan di Indonesia dihadapkan dengan beberapa permasalahan. Dalam Term of Reference EADC 2010 dengan Tema “Cerdas Indonesiaku” memaparkan bahwa  rendahnya kualitas guru di Indonesia merupakan rangkaian dari rantai masalah pendidikan di Indonesia yang harus diberantas hingga ke akarnya. Hal ini berkaitan dengan peran guru yang merupakan komponen penting dalam dunia pendidikan yang berada di barisan terdepan (Rismiyadi, 2011).
Demikian pula, sebagian orang tua kadang-kadang merasa cemas ketika menyaksikan anak-anak mereka berangkat ke sekolah, karena masih ragu akan kemampuan guru mereka. Di pihak lain setelah beberapa bulan pertama mengajar, guru-guru pada umumnya sudah menyadari betapa besar pengaruh terpendam yang mereka miliki terhadap pembinaan kepribadian peserta didik.
Sejalan dengan hal di atas, seorang guru harus terus meningkatkan profesionalismenya melalui berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengelola pembelajaran maupun kemampuan lain dalam upaya menjadikan peserta didik memiliki keterampilan belajar, mencakup keterampilan dalam memperoleh pengetahuan (learning to know), keterampilan dalam pengembangan jati diri (learning to be), keterampilan dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu (learning to do), dan keterampilan untuk dapat hidup berdampingan dengan sesama secara harmonis (learning to live together).

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa saja konsep-konsep profesi guru?
2.    Bagaimana pengembangan profesi guru?
3.    Bagaimana kualitas personal profesi guru?

C.      Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui konsep-konsep profesi guru.
2.    Untuk mengetahui pengembangan profesi guru.
3.    Untuk mengetahui kualitas personal profesi guru.

D.      Manfaat Penulisan
Dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam mengkaji permasalahan mengenai konsep-konsep profesi guru, pengembangan profesi guru dan kualitas personel profesi guru dan sebagai pedoman bagi guru dan calon guru untuk dapat menjadi yang peofesional.

BAB II
PEMBAHASAN


A.  Konsep-konsep Profesi Guru
1.    Pengertian dan Syarat-Syarat Profesi Keguruan
Guru adalah “sebuah profesi, sebagaimana profesi lainnya merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan” (Hadi, 2010). Suatu profesi tidak bisa di lakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan untuk itu. Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocational), yang kemudian berkembang makin matang serta ditunjang oleh tiga hal: keahlian, komitmen, dan keterampilan, yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya terletak profesionalisme.
Guru adalah jabatan profesi, untuk itu seorang guru harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional (Sulipan, 2007). Seseorang dianggap profesional apabila mampu mengerjakan tugasnya dengan selalu berpegang teguh pada etika kerja, independent (bebas dari tekanan pihak luar),  cepat (produktif), tepat (efektif), efisien dan inovatif serta didasarkan pada prinsip-prinsip pelayanan prima  yang didasarkan pada  unsur-unsur ilmu atau teori yang sistematis, kewenangan profesional, pengakuan masyarakat dan kode etik yang regulatif. Pengembangan wawasan dapat dilakukan melalui forum pertemuan profesi, pelatihan ataupun upaya pengembangan dan belajar secara mandiri.
Menurut Achmad (2011:6), “guru adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara terpola, formal, dan sistematis”. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (pasal 1) dinyatakan bahwa: “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengrahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah”. Guru professional akan tercermin dalam kepribadiannya.
Rismiyadi (2011) menyatakan “profesi kependidikan/keguruan adalah keahlian khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan (guru) serta menuntut keprofesionalan pada bidang tersebut”.
PGRI telah merealisasikan pengertian profesi keguruan untuk pendidikan di Indonesia sebagai berikut.
a.    Profesi keguruan adalah suatu bidang pengabdian/dedikasi kepada kepentingan anak didik dalam perkembangannya menuju kesempurnaan manusiawi.
b.    Para anggota profesi keguruan, terikat oleh pola sikap dan perilaku guru yang di rumuskan dalam kode etik guru Indonesia.
c.    Para anggota profesi keguruan, dituntut untuk menyelesaikan suatu proses pendidikan persiapan jabatan yang relatif panjang.
d.   Para anggota profesi keguruan terpanggil untuk senantiasa menyegarkan serta menambah pengetahuan (dalam arti khusus dan dalam arti kedalaman ilmu pengetahuan umum dan pengetahuan khusus profesi keguruan).
e.    Untuk dapat melaksanakan profesi keguruan dengan baik, para anggota harus memiliki kecakapan / ketrampilan teknis yang mampu menyentuh nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar.
f.     Para anggota profesi keguruan perlu memiliki sikap bahwa jaminan tentang hak-hak profesional harus seimbang dan merupakan imbalan dari profesi profesionalnya.
g.    Para anggota profesi keguruan sepantasnya berserikat secara profesional
Hadi (2010), menyebutkan syarat-syarat Profesi Keguruan adalah sebagai berikut.
a.    Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
b.    Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
c.    Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (dibandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).
d.   Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
e.    Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.
f.     Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri.
g.    Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
h.    Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Hasan (2003) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai: (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.

2.    Karakteristik Profesi Guru
Mudjia Rahardjo (2010) menyebutkan karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru yaitu sebagai berikut.
a.    Mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.
b.    Menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya.
c.    Bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi.
d.   Mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya.
e.    Menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut (Mudjia Rahardjo, 2010).
a.    Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
b.    Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
c.    Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu.
d.   Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik.
e.    Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.

3.    Ciri-ciri Profesi Keguruan
Robert W. Rickey mengemukakan ciri-ciri profesi keguruan sebagai berikut.
a.    Bahwa para guru akan bekerja hanya semata-mata memberikan pelayanan kemanusiaan daripada usaha untuk kepentingan pribadi.
b.    Bahwa para guru secara hukum dituntut untuk memenuhi berbagai persyaratan untuk mendapatkan lisensi mengajar serta persyaratan yang ketat untuk menjadi anggota organisasi guru.
c.    Bahwa para guru dituntut untuk memiliki pemahaman serta ketrampilan yang tinggi dalam hal bahan ajar, metide, anak didik dan landasan kependidikan.
d.   Bahwa para guru dalam organisasi profesional, memiliki publikasi profesional yang dapat melayani para guru, sehingga tidak ketinggalan, bahkan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi.
e.    Bahwa para guru, selalu diusahakan untuk selalu mengikuti kursuskursus, workshop, seminar, konvensi serta terlibat secara luas dalam berbagai kegiatan “in service”.
f.     Bahwa para guru diakui sepenuhnya sebagai suatu karier hidup (alife career).
g.    Bahwa para guru memiliki nilai dan etika yang berfungsi secara  nasional maupun secara lokal.

4.    Kode Etik Profesi Kependidikan
Setiap profesi pasti mempunyai kode etik. Kode etik guru Indonesia merupakan kumpulan nilai-nilai dan norma-norma yang harus ditaati. Fungsi kode etik profesi kependidikan adalah serbagai landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru anggota PGRI dalam menunaikan tugas sebagai guru, baik di dalam maupun di luar sekolah serta dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Adapun kode etik guru Indonesia adalah sebagai berikut (Rismiyadi, 2011).
a.  Guru berbakti membimbing peserta didik untuk mrmbentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
b.  Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional.
c.  Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
d.  Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
e.  Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
f.            Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
g.  Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
h.  Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI serana sarana perjuangan dan pengabdian.
i.   Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Tujuan Kode Etik adalah sebagai berikut.
a.    Untuk menjunjung tinggi martabat profesi
   Dalam hal ini kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah atau remeh terhadap profesi yang bersangkutan.
b.    Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya
   Yang dimaksud kesejahteraan di sini meliputi baik kesejahteraan lahir (atau material) maupun kesejahteraan batin (spiritual atau mental).
c.    Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
   Tujuan lain kode etik dapat juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdiannya dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
d.   Untuk meningkatkan mutu profesi
   Untuk meningkatkan mutu profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar para anggora profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya.
e.    Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi
   Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartisipasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.



B.  Pengembangan Profesi Guru
1.    Tujuan Pengembangan Profesi Guru
Sulipan (2007), menyebutkan “tujuan kegiatan  pengembangan profesi guru adalah untuk meningkatkan mutu guru agar guru lebih profesional dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya”. Jadi, kegiatan tersebut bertujuan  untuk memperbanyak guru yang profesional, bukan untuk mempercepat atau memperlambat kenaikan pangkat/golongan. Selanjutnya sebagai penghargaan kepada guru yang mampu meningkatkan mutu profesionalnya, diberikan penghargaan, di  antaranya dengan kenaikan pangkat/golongannya. Dalam kaitannya dengan program bimbingan penulisan karya ilmiah, maka penulisan karya tulis ilmiah sendiri yang merupakan salah satu kegiatan pengembangan profesi guru, bukanlah sebagai tujuan akhir tetapi sebenarnya merupakan wahana untuk melaporkan kegiatan yang telah dilakukan guru untuk meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pembelajaran di sekolah.

2.    Kegiatan Pengembangan Profesi Guru
Setiap guru wajib melakukan berbagai kegiatan dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya. Lingkup kegiatan guru tersebut meliputi Sulipan (2007): (1) mengikuti pendidikan, (2) menangani proses pembelajaran, (3) melakukan kegiatan pengembangan profesi dan (4) melakukan kegiatan penunjang. Berkaitan dengan program Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah, maka penulisan karya ilmiah adalah salah satu dari kegiatan pengembangan profesi guru. Kegiatan pengembangan profesi adalah kegiatan guru dalam rangka penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan keterampilan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran dalam rangka menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi pendidikan pada umumnya maupun lingkup sekolah pada khususnya.
Beberapa kegiatan guru yang termasuk pengembangan profesi adalah sebagai berikut.
a.    Melaksanakan kegiatan KTI di bidang pendidikan.
b.    Menemukan teknologi tepat guna di bidang pendidikan.
c.    Membuat alat peraga atau alat bimbingan.
d.   Menciptakan karya seni seperti lagu, lukisan.
e.    Mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.
Program uji sertifikasi yang tengah dijalankan pemerintah dengan mengandalkan penilaian portofolio, dipilih oleh pemerintah kabupaten/kota. Bahkan akan dibuka peluang bagi mereka yang tidak berkualifikasi S1/D4. Kenyataan ini bukan saja tidak menghasilkan perbaikan mutu, tetapi akan memunculkan masalah birokratisasi yang pada akhirnya mempersulit guru. Program sertifikasi tidak boleh dilepaskan dari proses pendidikan profesi, dan tidak seharusnya dipandang sekadar cara memberikan tunjangan profesi. Tunjangan profesi hanyalah insentif agar para guru mau kembali belajar, sedangkan perbaikan kesejahteraan guru harus diberlakukan kebijakan lain tentang remunerasi (Sanjaya, 2011).
Untuk mencapai kondisi guru yang profesional, para guru harus menjadikan orientasi mutu dan profesionalisme guru sebagai etos kerja mereka dan menjadikannya sebagai landasan orientasi berperilaku dalam tugas-tugas profesinya. Karenanya, maka kode etik profesi guru harus dijunjung tinggi (Karsidi, 2005:15).
Dalam perkembangannya, disadari bahwa profesi guru belum dalam posisi yang ideal seperti yang diharapkan, namun harus terus diperjuangkan menuju yang terbaik. Pada saat diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan yang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya teknologi informasi yang sangat pesat, dipahami bahwa banyak tantangan sekaligus peluang yang harus dihadapi untuk dapat diselesaikan oleh para guru dan lembaga penyelenggara pendidikan. Tantangan dan peluang tersebut antara lain: berubahnya peran guru dalam manajemen proses belajar mengajar, kurikulum yang terdesentralisasi, pemanfaatan secara optimal sumber-sumber belajar lain dan teknologi informasi, usaha pencapaian layanan mutu pendidikan yang optimal, dan penegakan profesionalisme guru. Para guru mempunyai tantangan untuk dapat beradaptasi dengan sebaik-baiknya dalam situasi transisi, agar dapat memperkecil dampak negatif dan memperbesar dampak positifnya. Menyikapi hal-hal demikian, tidak lain maka para guru haruslah dapat mengembangkan suatu perilaku adaptif agar berhasil mengemban profesinya di era otonomi daerah dan era global ini. Dengan cara demikian, karena guru adalah “soko guru” pendidikan, mudah-mudahan peningkatan mutu pendidikan di era otonomi daerah segera akan tercapai.
Menurut dalam salah satu paparannya, penyediaan guru baru haruslah melalui beberapa faktor yang harus diimplementasikan, diantaranya adalah Peningkatan Kualifikasi Akademik, Sertifikasi, Peningkatan Kompetensi, Pengembangan Karir, Penghargaan dan Perlindungan, Tunjangan Guru, serta Maslahat Tambahan. Selain itu dengan adanya jumlah anggaran yang terpakai lebih banyak untuk gaji Guru dan Dosen, maka Mendiknas mengingatkan agar kompetensi Guru harus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya (Zulkifli, 2010).

C.  Kualitas Personal Profesi Guru
Seorang guru yang ideal menurut Uzer Usman dalam Kwartolo, (2005:100) mempunyai tugas pokok yaitu mendidik, mengajar dan melatih. Oleh karena itu seorang guru harus memiliki kompetensi. Dalam profesi keguruan kita mengenal istilah kompetensi. Kompetensi itulah yang digunakan untuk menilai apakah seorang guru berkualitas atau tidak. Ada tiga kompetensi yang harus dimiliki guru, yaitu: (1) kompetensi personal, (2) kompetensi sosial, dan (3) kompetensi profesional. Kompetensi personal lebih menunjukkan pada kematangan pribadi. Di sini aspek mental dan emosional harus benar-benar terjaga. Kompetensi sosial lebih menunjukkan pada kemampuan guru untuk berelasi, berinteraksi. Guru memperlihatkan keluwesan dalam pergaulan dengan siswa, kepala sekolah, dan juga teman sejawat di tempat ia mengajar. Guru bisa menciptakan persahabatan yang baik. Keberadaannya memberi manfaat yang positif. Sedangkan kompetensi profesional lebih menunjukkan pada kemampuan yang dimiliki guru sebagai pengajar yang baik.
Guru harus berkualitas menurut standar tertentu. Bukti kualitas menurut standar tertentu yang menjamin seseorang dapat dikatakan sebagai guru profesional adalah selembar sertifikat. Pemerolehan sertifikat sebagai guru profesional harus melalui dan lulus uji kompetensi guru. Ada dua kriteria utama yang menjadi syarat untuk sampai kepada maksud tersebut, yakni (PP RI No. 19 Tahun 2005, pasal 28, ayat 1 – 3): (1) Memenuhi kualifikasi akademik pendidikan formal minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1), dan (2) Memenuhi standar kompetensi sebagai agen pembelajaran (Dedy, 2011).
Raka Joni dalam Kwartolo, (2005:100) berdasarkan Komisi Kurikulum Bersama P3G menetapkan dan merumuskan bahwa kompetensi profesional guru di Indonesia terdiri atas 10 kompetensi, yakni: (1) menguasai bahan pelajaran; (2) mengelola program pembelajaran; (3) mengelola kelas; (4) menggunakan media dan sumber belajar; (5) menguasai landasan pendidikan; (6) mengelola interaksi belajar mengajar; (7) menilai prestasi belajar; (8) mengenal fungsi dan layanan bimbingan dan penyuluhan; (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah; dan (10) memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna keperluan pengajaran.
Dengan kualitas mahasiswa yang baik dan pendidikan dan pelatihan guru yang berkualitas tinggi tak salah jika kemudian mereka dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula. Dengan kompetensi tersebut mereka bebas untuk menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri, dan buku teks yang mereka pilih sendiri. Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, mereka justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajar siswa untuk lolos ujian, bukan mutu proses. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur dengan ujian saja. Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi (Achmad, 2011:9).
Menurut Achmad (2011:9), Kewenangan guru di Indonesia selama ini sangat dilematis, mereka tidak mempunyai kewenangan (atau keberanian?) untuk memutuskan (apalagi menolak). Guru hanya berperan hanya sebagai pelaksana (buruh). Banyak contoh, guru harus melakukan pekerjaan diluar kewenangannya hanya karena harus menghargai atasan, di mana pada waktu yang bersamaan ia harus merelakan muridnya tidak belajar, kadang-kadang murid terpaksa dibawanya bersama. Hal ini jelas membuat guru menjadi tertindas dari sudut moral dan profesionalisme.
Menurut beberapa ahli pendidikan ada lima faktor yang sangat mempengaruhinya kualitas guru, yaitu sebagai berikut (Achmad, 2011:9).
a.    Adanya kewenangan yang benar-benar diserahkan kepada guru.
b.    Kualitas atasan dalam mengawasi dan mengontrol perilaku guru.
c.    Kebebasan yang diberikan kepada guru (baik di dalam maupun di luar kelas), dan hubungan guru dengan muridnya.
d.   Pengetahuan guru (yang akan mempengaruhi kepercayaan dirinya).
Surya dalam Dedy (2011) juga mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja profesional guru adalah “kepuasan kerja” Kepuasan kerja ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor: (1) imbalan jasa, (2) rasa aman, (3) hubungan antar pribadi, (4) lingkungan kerja dan (5) kesempatan untuk pengembangan dan peningkatan diri. BPPN tahun 1999 menyatakan bahwa kesejahteraan guru merupakan aspek paling crucial dalam dunia pendidikan. Tingkat kesejahteraan guru tergolong rendah, bahkan amat rendah, tidak setara dengan pengabdian yang diberikannya. Kesejahteraan guru yang rendah berdampak tidak menguntungkan terhadap motivasi guru, status sosial profesi keguruan, dan dunia pendidikan secara keseluruhan. Gaji merupakan aspek utama dan paling pokok dalam kesejahteraan guru. Selain gaji, kesejahteraan guru juga meliputi kelancaran dalam kenaikan pangkat, rasa aman dalam menjalankan tugas, kondisi kerja, kepastian karier sebagai guru, dan hubungan antar pribadi.

BAB III
PENUTUP


A.  Kesimpulan
Profesi kependidikan/keguruan adalah keahlian khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan (guru) serta menuntut keprofesionalan pada bidang tersebut. Setiap profesi pasti mempunyai kode etik. Kode etik guru Indonesia merupakan kumpulan nilai-nilai dan norma-norma yang harus ditaati. Fungsi kode etik profesi kependidikan adalah serbagai landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru anggota PGRI dalam menunaikan tugas sebagai guru, baik di dalam maupun di luar sekolah serta dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan  pengembangan profesi guru adalah untuk meningkatkan mutu guru agar guru lebih profesional dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya”. Jadi, kegiatan tersebut bertujuan  untuk memperbanyak guru yang profesional, bukan untuk mempercepat atau memperlambat kenaikan pangkat/golongan.
Guru harus berkualitas menurut standar tertentu. Bukti kualitas menurut standar tertentu yang menjamin seseorang dapat dikatakan sebagai guru profesional adalah selembar sertifikat. Pemerolehan sertifikat sebagai guru profesional harus melalui dan lulus uji kompetensi guru.

B.  Saran
Sebagai seorang guru kita harus menjaga etika profesi. Tidak silap uang karena suatu pendidikan bukan suatu sarana untuk menciptakan uang karena para orang tua mulai tidak percaya dengan suatu lembaga pendidikan. Mari menjadi guru yang professional.